stritapiret.or.id, Perumpamaan tentang kebun anggur jarang ditemukan dalam Perjanjian Lama kecuali teks Yesaya hari ini, yang dikutip oleh penginjil sinoptik, Matius dalam bab 21:33 (teks pararel dalam Markus dan Lukas). Sebelumnya Yesaya mempersiapkan pembaca tentang tema kebun anggur dalam bab 3:14 yakni: “Kamulah (tua-tua dan pemimpin-pemimpin) yang memusnahkan kebun anggur itu, barang rampasan dari orang yang tertindas tertumpuk di dalam rumahmu”. Nyanyian kebun anggur milik kekasih yang dikisahkan oleh Yesaya adalah metafora yang menggambarkan relasi cinta Allah dengan Israel. Ia terinspirasi oleh Kidung Agung 8:11 (“Kebun anggurku, yang punyaku sendiri, ada di hadapanku”). Kata kekasih juga mengungkapkan relasi yang saling menjaga antara penjaga dan yang dijaga, seperti tertulis dalam Ul 33:12 (“Tuhan melindungi dia setiap waktu dan diam di antara lereng-lereng gunungnya”). Tuhan melindungi kebun anggur-Nya, kekasih jiwa-Nya Israel dengan menanam ranting anggur terbaik, membuat pagar batu di sekelingnya, mendirikan menara tinggi untuk menjaganya, dan menggali tempat pemeras anggur untuk menghasilkan minuman anggur terbaik. Demi kebaikan dan keamanan kekasih, Tuhan tidak peduli dengan tingginya biaya yang harus dikeluarkan. Umumnya orang mendirikan pondok, bukan menara dalam kebun anggur. Ini semua menandakan dan mengungkapkan kasih Allah yang rela memberi tanpa batas. Namun menarik akhir parumpamaan ini. Pemilik kebun anggur bertindak sebagai pendakwa dan hakim atas kebun anggur. Motif yang ditampilkan ialah semak duri, putri malu dan onak, bahkan kebun tanpa hujan. Kebun tanpa kultur pertanian terlihat dari semak belukar yang menjalar di mana-mana. Meskipun demikian, perumpamaan tidak berakhir pada pelaksanaan penghakiman, dan kehancuran kebun anggur melainkan pada kekecewaan Tuhan yang mendalam terhadap kekasih-Nya. Pada titik ini metafora berganti dengan pernyataan: Tuhan menantikan keadilan (Ibrani: mishpat) tetapi hanya ada kelaliman (Ibrani: mispoach), Tuhan menantikan keadilan dalam masyarakat (Ibrani: zedaka) namun gantinya, Ia mendengar seruan orang-orang yang menderita dan tertindas (Ibrani: zaaka). Tinggal pertanyaan yang belum terjawab dalam Yesaya yakni: Akankah harapan Tuhan terhadap umat-Nya masih terpenuhi, atau justru hilang? Ruang terbuka yang ditinggalkan oleh Yesaya dilanjutkan oleh Yesus dalam kisah Injil hari ini. Ruang itu dimulai dari kisah-kisah historis tentang para pemimpin rakyat dan nasib para utusan. “Tuhan mengutus nabi-nabi kepada mereka, supaya mereka berbalik kepada-Nya. Nabi-nabi itu sungguh-sungguh memperingatkan mereka, tetapi mereka tidak mau mendengarkannya” (2Taw 24:19); atau: “Dari sejak waktu nenek moyangmu keluar dari tanah Mesir sampai waktu ini, Aku mengutus kepada mereka hamba-hambaKu, para nabi, hari demi hari hari, terus menerus, tetapi mereka tidak mau mendengarkan kepada-Ku dan tidak mau memberi perhatian, bahkan mereka menegarkan tengkuknya, berbuat lebih jahat dari pada nenek moyang mereka” (Yer 7:25-26). Nasib para utusan ialah pemukulan, kematian, dan dilempari batu. Uria dibunuh dengan pedang (Yer 26:23), Yeremia dipasungkan di atas balok (Yer 20:2); Zakharia dirajam (2Taw 24:21). Bahkan kedatangan anak laki-laki menimbulkan rencana pembunuhan di kalangan petani anggur. Kisah ini mirip dengan rencana saudara-saudara Yusuf (Kej 37:20). “Marilah kita bunuh dia...” Keinginan para petani anggur merampas warisan, mempunyai akibat ganda, yakni: Alih-tangan kepemilikan, dan usaha mereka untuk menghindari partisipasi dari pewaris lain. Atau dengan kata lain: Mereka ingin menjamin hak keselamatan bagi Israel dan mengecualikan bangsa-bangsa lain. Ironis dari tindakan mereka ialah mereka justru mencapai apa yang ingin mereka cegah. Kerajaan Allah akan diambil dari mereka, dan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu. Sampai titik ini, sang pewaris kebun anggur masih membuka ruang perubahan, seperti kisah Injil Minggu lalu. Mulanya sang anak menjawab tidak, namun kemudian merubah sikapnya dengan pergi bekerja di ladang (Mat 21:30). Setiap waktu dan setiap saat Tuhan masih tetap memberi kesempatan kepada siapa saja untuk berubah, sebelum hukuman yang paling buruk terjadi. Gambaran tentang hukuman itu dialami oleh Matius dari kehancuran kota Yerusalem (Mt 22:7). Untuk itu, Matius mengutib Perjanjian Lama sebagai jawaban apologetik. Ia mengutib Mz 118 sebagai nyanyian pujian, yang adalah bagian dari Liturgi Bait Allah. Mz 118:22 (“Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru. Hal itu terjadi dari pihak Tuhan, suatu perbuatan ajaib di mata kita”) adalah nyanyian pujian dari seorang yang berada di ambang kematian, namun hidup kembali, dan dapat berziarah lagi ke Bait Allah, bahkan ia mampu menempatkan dirinya pada tempat khusus, yang dapat dibandingkan dengan batu penjuru, atau batu kunci dalam satu susunan bangunan. Semuanya terjadi karena perbuatan ajaib Tuhan. Kembali pada pertanyaan: Akankah harapan Tuhan terhadap umat-Nya masih terpenuhi, atau justru hilang? Matius menjawab: Tuhan menghendaki diri-Nya menjadi Raja Israel, di mana Kerajaan Allah sebagai keanggotaan personal Israel kepada Allah, pemilik kebun anggur. Kerajaan Allah itu masih presentis, dan belum final. Karena itu, ia bisa hilang, dapat pula diambil. Dia harus dijaga dengan cara menghasilkan buah. Bagi umat baru, di mana Matius menggunakan kata etnos (bukan ekklesia atau laos) yang identik dengan Gereja, berarti hidup sejalan dengan kehendak Tuhan sebagaimana Kotbah Yesus di Bukit tentang keadilan. Etnos baru masuk dalam kategori neutrum. Ia bukan Yahudi bukan pula kafir, tetapi etnos yang percaya pada Injil, darinya berasal Kerajaan Allah. Kita adalah bagian dari etnos baru dengan etos hidup baru, yakni hidup sesuai dengan Injil. Bila hari ini keberadaan kita sebagai etnos baru masih seperti kebun anggur yang tak terurus, penuh duri, putri malu dan onak, tidak menghasilkan anggur yang baik, maka selalu ada ruang terbuka yang diberikan oleh Tuhan untuk memperbaiki diri, karena Tuhan sendiri adalah penjaga kebun anggur-Nya, meskipun kadang-kadang ia bertindak sebagai pendakwa dan hakim atas perbuatan-perbuatan kita, karena ketiadaan rasa terima kasih dalam diri kita atas kebaikan-kebaikan Tuhan yang kita alami melalui orangtua, para sahabat, dan teman sepanggilan. Bila kerohanian kita kering meranggas seperti kemarau panjang yang membuat kita tak berdaya, lelah, hilang semangat dan putus asa, maka ada baiknya, bila kita seperti pemazmur datang ke rumah Tuhan, dan mencari pojok terbaik. Mungkin kita dapat melihat dan menemukan batu penjuru yang memperkokoh bangunan rohani kita: Dia yang wafat namun dibangkitkan oleh Allah, dan dimuliakan dari segala penguasa di bumi. Tuhan adalah Sang kekasih jiwa yang tidak pernah mengingkari janji. Ia akan mengorbankan segala-galanya, termasuk membayar mahal setiap jiwa yang selalu digodai dan tergoda dengan tawaran-tawaran yang menakjubkan namun tidak mendatangkan keselamatan paripurna

Post SebelumnyaRenungan 24 Februari 2020
Post SelanjutnyaWADAS EDISI I (OKTOBER 2023)